Rabu, 02 Mei 2012

Komunisme China



A.    Tentang Mao
Di antara tokoh-tokoh revolusioner yang terkemuka abad 20 seperti Lenin, Trotsky, Mussolini, dan Hitler tak ada satu pun yang menyamai MaoTse Tung dalam hal memberikan pengaruh yang begitu luas dan untuk waktu yang begiut lama bagi negaranya. Lenin meninggal pada tahun 1924, setelah memberi peringatan mengenai Stalin yang kejam dan beritikad buruk dari ranjang kematiannya. Trotsky membentuk Tentara Merah yang memenangkan perang saudara menyusul Revolusi Rusia. Namun demikian, beliau diusir dari Uni Soviet tahun 1929 sebagai korban kebencian Stalin. Mussolini memimpin gerakannya di seluruh kota Roma dan menjajikan untuk meciptakan kembali kejayaan Romawi Kuno, tetapi kemudian ia dijatuhi hukuman mati secara memalukan pada tahun 1945 di tengah-tengah reruntuhan perang yang tidak dimenangkannya. Kerajaan 1000 tahun yang dijanjikan Hitler terbakar hangus setelah lebih dari satu dasawarsa.
    Mao Tse Tung turut mendirikan Partai Komunis China pada tahun 1921, yang kemudian berhasil dibinanya meskipun menghadapi dua kali perang saudara dan serbuan asing. Ia menunutun partai itu menuju panggung kekuasaan dalam revolusi nasional tahun 1949. Kemudian selama lebih dari seperampat abad, sampai kematiannya tahun 1976, ia memimpin proses transformasi dan penataan kembali masyarakat dan dan kehidupan politik China. Selama 40 tahun, sejak menjadi pemimpin partai tahun 1935 sampai saat kematiannya ketika berumur 83 tahun, pribadi Mao Tse Tung dan ideologi komunis China tidak dapat dipisahkan. Resep-resepnya dalam hal berpikir dan bertindak, yang diterbitkan dengan judul The Thoughts of Mao Tse Tung bagi jutaan rakyat China merupakan literatur modern yang setaraf dengan Sayings of Confucius dari jaman lampau. Sampai saat kematiannya, Mao Tse Tung tetap menjadi teoritisi, pemimpin, dan lambing yang sangat berpengaruh bagi Komunisme China.
    Proklamasi RRC tanggal 10 oktober 1949 merupakan puncak dari perjalanan atau perjuangan yang panjang dengan penuh tantangan dari Mao dan Partai Komunis China. Ketika perjalanan itu baru dimulai, China dalam keadaan lemah dan terpecah-pecah, miskin, semi feodal, dilanda kelaparan secara periodik, diperintah oleh para panglima perang yang reaksioner, dan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan asing yang menuntut konsensi-konsensi politik dan ekonomi dari pemerintah pusat yang tidak efektif. Ketika Mao meninggal, China telah bersatu, mandiri, bebas dari ekses-ekses korupsi politik dan kelaparan yang luas, dan bergerak ke arah pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, China menjadi suatu kekuatan dunia yang yang memiliki senjata nuklir serta menjadi basis dukungan bagi rezim-rezim komunis lainnya sampai ke Albania. Prestasi-prestasi yang dicapainya luar biasa, tetapi denagn pengorbanan yang luar biasa pula.

B.    Tahun-tahun Awal Komunisme China
Mao lahir tahun 1983 di tengah keluarga “kelas menengah” yang relativ berkecukupan yang memberikan kepadanya pendidikan dasar yang penting untuk perkembangan dirinya di kemudian hari. Ia selalu terlibat dalam konflik dengan ayahnya yang dianggapnya keras, tidak masuk akal, dan kejam. Pada umur 16 tahun Mao melawan ayahnya dengan meninggalkan kampong halamannya dan masuk sekolah di sebuah kota ynag terdekat. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah, terjadi Revolusi tahun 1911 yang menjatuhkan dinasti Manchu yang berkuasa. Revolusi 1911 ini juga menandai berdirinya Republik China secara resmi dan Mao menyambut dengan antusias revolusi itu. Setelah menjalankan masa tugas yang singkat dalam dinas ketentraman pro-republik, ia masuk Sekolah Latihan Keguruan di Changsha, ibu kota propinsi kelahirannya Hunan. Selama lima tahun dalam sekolah ini, ia mengembangkan kepribadian, pikiran, dan semua kegiatannya yang segera mengangkat dirinya dalam perjalanan revolusionernya.
Hasrat revolusioner Mao bergeser ke arah komunisme setelah ia berpindah ke Universitas Peking untuk bekerja sebagai seorang pembantu dalam perpustakaan. Di sana ia bergabung dengan sebuah kelompok studi Marxis dan turut mengambil bagian dalam Gerakan 4 Mei yang bersejarah itu (1911). Gerakan itu merupakan demonstrasi kekerasan menentang persetujuan pemerintah China dan Jepang dalam hal memberikan konsesi-konsesi territorial kepada Jepang. Penampilan yang eksplosif dari semangat nasionalis ini kemudian dirayakan sebagai awala dari perjuangan komunis di China. Setelah melihat keadaan China selama tahun-tahun tersebut, Mao, seperti juga para guru dan rekan-rekan mahasiswa, mengalami kekecewaan yang mendalam atas hasil-hasil Revolusi tahun 1911. Pemimpin revolusi itu, Sut Yat Sen, adalah seorang dokter lulusan Barat yang selama bertahun-tahun mengecam penguasa-penguasa Manchu yang korup dan tidak berwibawa. Pada tahun 1905, ia merumuskan rencananya dengan nama Tiga Prinsip Rakyat yaitu pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan rakyat (nasionalisme), kekuasaan rakyat (demokrasi), dan kesejahteraan rakyat (sosialisme). Prinsip-prinsip ini, yang selalu bersifat mendua dan tidak pernah diterapkan secara langsung pada masalah-masalah khusus dari zaman itu, menjadi pedeman ideologis yang utama bagi kelompok-kelompok pembaharu hingga Mao sendiri menyesuaikan Marxisme dan Leninisme dengan kondisi-kondisi masyarakat China.
Usaha-usaha Dr. Sun membuahkan hasila pada tahun 1911 dengan bantuan Jenderal Yuan Shih Kai, ketika seorang kaisar yang masih dapat disingkirkan sehingga Republik China pun diproklamasikan. Bagi Mao, seperti juga bagi orang-orang China yang berpikiran progresif, peristiwa ini merupakan saat yang menggembirakan. Namun demikian, harapan segera berubah menjadi kekecewaan yang pahit ketika Jenderal Yuan, yang saat itu sudah menjadi Presiden, mengkhianati revolusi. Ia berusaha memastikan dirinya sebagai kaisar yang baru dengan mengandalakan aliansi-aliansinya dengan para panglima perang propinsi, yang kekuatan militernya dapat dijadikan basis pemerintahannya. Yaun meninggal sebelum rencana-rencananya terlaksana. Ia meninggalkan warisan, yang juga merupakan warisan Revolusi 1911, yaitu sebuah negara yang terpecah-pecah yang diperintah oleh para panglima perang yang memiliki otonomi.
Periode selanjutnya merupakan masa pergolakan intelektual yang dalam dan seiring dengan itu terjadi pula frustasi politik yang parah. Segala jenis pembaharuan direncanakan dan dicoba, tetapi semakin jelas bahwa tanpa perubahan yang mendasar dalam struktur pemerintahan tak mungkin ada kemajuan permanen yang dapat dicapai. Demonstrasi dengan kekerasan pada tanggal 4 Mei 1919 merupakan pernyataan rasa tidak puas yang semakin berkembang.
Kekuatan-kekuatan revolusioner yang meraih kemenangan yang tidak meyakinkan pada tahun 1911 menampilkan dua ahli waris, yaitu Partai Nasionalis, kemudian diberi nama Kuomintang (Partai Rakyat Nasional), dan Partai Komunis yang didirikan tahun 1921 oleh sebuah kelompok kecil penganut Marxis termasuk Mao, di kota industri utama, Shanghai. Pada mulanya kedua partai ini dapat bekerja sama terutama karena desakan penasihat-penasihat Uni Soviet yang mengarahkan dan membantu kedua kelompok tersebut. Kolaborasi ini mencapai puncaknya dalam kampanye-kampanye militer yang berhasil pada tahun 1926-1927, dimana para raja perang menderita kekalahan dan nampaknya China akan bersatu kembali. Meskipun demikian, bahkan dalam tahu-tahun terjadinya kerja sama itu sudah timbul perpecahan yang serius antara Kuomintang, yang dipimpin oleh Chiang Ki-shek, dan kaum komunis. Pada tahun 1927 pertikaian itu berubah menjadi perang saudara terbuka.
Sumber-sumber perpecahan ini yang kemudian membawa akibat yang sangat menentukan bagi masa depan China, berkisar pada masalah-masalah yang sifatnya mendasar. Yang diperselisihkan ialah pandangan-pandangan yang saling bertentangan mengenai jalan keluar menuju China yang modern. Walaupun telah tampil sebagai seorang nasionalis yang revolusioner, pandangan-pandangan Chiang cenderung menjadi sempit dan konservatif. Tujuan utamanya adalah mengkonsolidasikan kekuasaan Kuomintang, sambil mengesampingkan pembaharuan sosial dan ekonomi. Setelah menikahi puteri dari keluarga seorang yang kaya dan berpola hidup barat, ia menjadi Kristen, dan semakin dekat dengan para saudagar kota yang kaya dan para tuan tanah dari pedesaan yang merupakan basis dukungannya. Karena itu ia melindungi kepentingan kelompok-kelompok pendukungnya tersebut. Chiang bukannya melaksanakan pembaharuan sosial dan politik, tapi malah menyerukan diberlakukannya kembali nilai-nilai tradisional konfusius dan disiplin militer yang ketat. Dalam suatu keputusannya yang genting ia lebih mengutamakan rencana pemusnahan kaum komunis daripada menangani masalah pembaharuan dalam negeri dan menghadapi ancaman agresi Jepang yang terus membayang. Di pihak lain, Mao menghendaki adanya perubahan yang mendasar di seluruh wilayah China yang bersifat agraris. Karya awalnya yang utama dalam bidang analisis social adalah “ Laporan tentang Penyelidikan atas Gerakan Petani yang Berkemanusiaan” (1927), memgungkapkan dua hal. Pertama, mengenai teori komunisnya yang menyimpang dari kebiasaan, dimana ia memberi tekanan pada kemampuan revolusioner petani dan bukannya kaum buruh kota. Kedua, justru mengenai implikasi-implikasi radikal yang ditimbulkan oleh seruannya untuk mengadakan revolusi di wilayah pedesaan. China adalah negara agraris yang luas dan Mao justru menyerang lembaga-lembaga yang merupakan pilar-pilar penyangga masyarakat tradisional China.
Perang Chian melawan komunisme ini berjalan dengan sukses karena dalam beberapa saat saja tentara Kuomintang dapat menguasai sebagian besar wilayah China. Karena  mendapat serangan di pangkalan utamanya di China Tengah bagian timur (propinsi Kiangsi), maka komunis memutuskan untuk meloloskan diri menuju ke suatu wilayah terpencil di bagian barat laut sehingga bisa bebas dari serangan (propinsi Shensi). Perjalanan panjang (1927) itu kemudian menjadi legenda dalam sejarah komunisme China. Rute perjalanan yang berliku-liku itu hampir mencapai 7000 mil. Pada mulanya ada 100.000 orang yang memulai perjalanan itu, tetapi akhirnya yang tetap bertahan sampai akhir kurang dari 30.000 orang. Jumlah yang tersisa ini, yang merupakan inti dari tentara komunis yang meraih kemenangan satu dasawarsa kemudian, terdiri dari para kader yang teguh, berdisiplin, setia, dan secara politik menyatu di bawah pimpinannya yang baru dipilih yaitu Mao Tse Tung.

C.    Doktrin-doktrin Mao
Selama Mao menjalani hidupnya di wilayah utara di ibu kota Yenan, ia merumuskan pandangan-pandangan teoritisnya dan memprakarsai kebijakan-kebijakan yang kemudian dipaksakan di seluruh wilayah China. Dalam teori-teori Mao tidak selalu terdapat konsistensi, dan dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Sebaliknya, pikiran Mao mengalami banyak modifikasi, bahkan menyangkut hal yang pokok sekalipun. Kendati ia mengklaim dirinya sebagai penganut Marxisme-Leninisme dan bagian-bagian yang penting dari pemikirannya merupakan Leninisme yang ortodoks, justru sejak awal pandangan-pandangannya mencerminkan sifat-sifat yang khusus pada masyarakat China dan keadaan-keadaan yang istimewa dari perjuangannya menuju kekuasaan. Ada beberapa tema yang secara khas bersifat Maois, yaitu:
a.    Peranan desa lebih penting daripada kota
Dengan dukungan yang aktif atau setidak-tidaknya secara pasif dari para petani lokal, kekuatan-kekuatan komunis dapat menjalankan operasinyasecara efektif di wilayah pedesaan untuk memutuskan jalur-jalur komunikasi dan pemasokan, mencari kesempatan yang tepat utnuk berhadapan dengan pasukan penyerang dan kemudian mengalahkannya, dan akhirnya memaksa kota-kota untuk menyerah. Perang gerilya ini menjadi strategi umum Mao. Tentara komunis akan bergerak melintasi wilayah pedesaan seperti ikan di laut (“Rakyat menjadi laut, Kiata menjadi ikannya”), untuk pada akhirnya mengepung dan menaklukan kota-kota. Jadi menurut Mao, revolusi akan berhasil di wilayah pedesaan sebelum di kota-kota, dan di negara terbelakang sebelum di negara-negara industri pusat. Mao sesungguhnya menyesuaikan Marxisme dengan kondisi-kondisi dunia ketiga.
b.    Tentara Merah lebih penting daripada aksi massa
Keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh dukungan penduduk local, tapi terutama oleh efektivitas Tentara Merah sebagai suatu organisasi militer. Perang revolusi yang berlarut-larut tidak dapat dimenagkan oleh rakyat dan hanya tentara yang dapat memenangkan perjuangan seperti itu. Pemikiran ini merupakan dasar pijakan Mao dalam pernyataannya bahwa “menurut teori Marxis tentang negara, tentara adalah unsure yang utama dari kekuasaan politik dalam negara; siapa pun yang ingin merebut dan memegang kekuasaan politik haruslah memiliki tentara yang kuat.”
c.    Semangat revolusi lebih penting daripada keahlian teknis
Pandangan Mao tentang komunisme melampaui perubahan-perubahan dalam hal hak milik, hubungan kelas, dan lembaga-lembaga sosial. Ia mendambakan munculnya manusia jenis baru dengan sikap, hasrat, dan perilaku yang istimewa. Mao memegang cita-cita yang bersifat egaliter, dan komunal, dimana dikotomi desa dan kota, buruh dan manajer dan lain sebagainya harus dihilangkan. Menciptakan masyarakat yang bersifat komunnal itu merupakan tujuan revolusi yang secara giat harus diperjuangkan oleh kaum komunis. Tetapi pelsksanaan cita-cita trevolusi ini menemui berbagai rintangan yang serius, salah satu rintangan muncul dari keengganan yang begitu manusiawi dari para individu. Ahli mengacu pada kelompok individu yang memiliki kehlian dan pengetahuan khusus dan tetap sibuk dengan pekerjaannya dan tidak bergabung denagn massa rakyat seperti yang dikehendaki Mao. Sehingga disini menjadi jelas mengapa semangat revolusi lebih penting dibandingh keahlian teknis.
d.    Kekuatan subyektif lebih penting daripada kenyataan obyektif
Unsur yang khas dalam Maoisme ialah penegasannya bahwa terdapat kemungkinan mencapai perubahan yang revolusioner melalui penerapan sifat, kemauan, dan “pikiran yang benar” dalam berbagai kondisi historis. Unsur kesukarelaan dalam Marxisme, yaitu pandangan bahwa perubahan merupakan hasil dari tindakan-tindakan manusia yang direncanakan dan bukannya secara obyektif ditentukan oleh kondisi-kondisi masyarakat, telah dikembangkan oleh Lenin. Namun demikian, Mao menggunakannya secara lebih luas lagi, seperti yang nampak dari uraiannya mengenai kelompok masyarakat yang dapat menjadi bagian dari gerakan revoluisoner. Mao mengalamatkan seruan revolusinya bukan kepada kelas tertentu dalam masyarakat, tetapi kepada “rakyat” yang bisa mencakup keolmpok individu dengan asal-usul yang sangat beraneka ragam dan dipersatukan oleh dukungan mereka terhadap komunisme dan kesetiannya mengikuti pemikiran Mao. Pada tahun 1949 Mao menulis, “Siapakah rakyat itu? Dalam kondisi China yang sekarang ini, mereka adalah kelas buruh, petani, kaum borjuis kota yang picik, dan kaum borjuis nasional”. Jadi Mao menjangkau lebih jauh.

D.    Kemenangan Kaum Komunis
Selama masa-masa sulit di Yenan, setelah luput dari tentara penakluk Kuomintang, Mao menetapkan kebijaksanaan yang merupakan basis untuk memperoleh dukungan rakyat. Kebijakan-kebijakan ini mencakup pembaharuan dalam bidang agrarian, seruan-seruan yang bernada nasionalis untuk menentang serbuan asing, kampanya untuk menarik massa pada perjuangan komunis dan pengkaderan politik yang intensif.
Selama tahun-tahun yang sulit ini Mao menunjukkan keluwesan yang bersifat taktis dan kurang menerapkan dogmatism. Ia menyesuaikan kebijakan-kebijakan dengan kondisi-kondisi yang ada. Sebagai contoh, program pembaharuan yang dicanangkannya dalam bidang agrarian bersifat moderat dan berhati-hati sehingga tidak menimbulkan rasa permusuhan di kalangan petani yang dibutuhkannya sebagai basis pendukung. Ia merekrut para prajurit untuk Tentara Merah dan anggota-anggota partai komunis kapan saja ia menjumpai mereka, bahkan dari kalangan gelandangan yang oleh Karl Marx dianggap sebagai sampah masyarakat. Ia memegang pendirian bahwasan pasukannya memperlakukan penduduk setempat dengan ketulusan dan kejujuran yang sangat jauh berbeda dengan tindakan preampasan dan korupsi yang dilakukan oleh para tuan tanah, bangsa Jepang, dan Kuomintang. Barang-barang yang diambil oleh para prajurit selalu dibayar dengan ketentuan bahwa mereka akan membalas pemberian itusetelah revolusi selsesai. Drngan cara ini sebagian besar penduduk setidak-tidaknya memiliki kepentingan langsung dengan kemenangan komunis.
Untuk membentuk para anggota pilihannya menjadi kekuatan yang terpadu, Mao bersandar pada dua kekuatan andalannya yaitu semacam seruan-seruan nasionalisme dan kaderisasi politik yang intensif. Sementara Chiang mengecam kaum komunis sebagai musuh utamanya, Mao memperingatkan tentang adanya serbuan asing. Seruan Mao yang bernada nasionalis ini memenangkan dukungan yang luas di semua lapisan masyarakat. Ketiak Jepang melancarkan serbuan, Mao bersedia untuk bergabung dengan Kuomintang dalam perang pertahanan nasional. Bersamaan dengan itu ia melakukan berbagai usaha yang berat untuk melatih dan mengindoktrinasi anggota-anggota partai yang baru segai kader-kader yang efektif yang akan menjadi aktivis-aktivis berdisiplin dan penuh pengabdian. Untuk mempertahankan kendali, Mao mengadakan pembersihan bagi para kader, misal pejabat yang melakukan penyimpangan ideologis, dipindahkan ke wilayah yang terpencil atau didepak dari partai
Ketika mulai tampak bahwa Jepang akan kalah, pertentangan yang lama antara Kuomintang dan kaum komunis muncul kembali. Kali ini kaum komunis sudah semakin kuat kedudukannya, karena menguasai wilayah yang luas di bagian timur laut China, memiliki tentara gerilya yang berpengalaman, mempunyai strategi dan kebijakasanaan yang teruji, erta mendapat dukungan yang luas dari rakyat. Dalam kenyataanya, China telah terbagi atas dua golongan masing-masing dengan Angkatan Bersenjata, pemerintah, dan pemimpinnya yang saling bertentangan. Dalam situasi ini, AS yang secara resmi bersekutu dengan Kuomintang pipmpinan Chiang, megirimkan misi penengah yang dipimpin oleh Jenderal George Marshall. Namun demikian, pertemuan-pertemuan yang mereka adakan hanya membuat konflik semakin parah. Chiang berpegang teguh pada pendirian bahwa kaum komunis harus mengakui kedudukannya sebagai penguasa yang sah, sedangkan kaum komunis menuntut keikutsertaan mereka sebagai rekan yang sederajad dalam pemerintahan koalisi dan tentara gabungan. Pada tahun 1946 pecah lagi tindak kekerasan dalam suatu negara yang sesungguhnya telah letih berperang. Dalam waktu dua tahun kekuatan Kuomintang jatuh dan Chiang mundur ke pulau Taiwan untuk menata kembali sisa perlawanan terhadap kekuasaan komunis.

E.    Republik Rakyat
Selama jangka waktu antara terbentuknya Republik Rakyat dan kematian Mao tahun 1976, kebijakan-kebijakan dalam negeri China menyelenggarakan berbagai perubahan dan pembalikan yang menonjol yang merupakan refleksi dari komitmen ideologis Mao serta kondisi-kondisi ekonomi dan perubahan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh pemimpin China. Selama beberapa tahun ada prestasi-prestasi yang patut dicatat, tapi ada juga berbagai kegagalan yang tidak kurang menonjolnya.
Tugas-tugas awal yang dilakukan oleh rezim ini ialah membentuk suatu struktur pemerintahan nasional dan memulihkan kembali perekonomian yang hancur akibat perang. Tujuannya adalah untuk membuat China dapat berdiri tegak kembali sebagai langkah awal menuju cita-cita pembangunan dan sosialisme yang lebih ambisius. Pendekatan yang digunakan pada tahun-tahun awal (1949-1952), lebih bersifat pragmatis dan kuarang terikat pada ideologi. Kebijakan land reform yang telah diupayakan di Yenan diterapkan pula di seluruh negeri. Kampanye-kampanye ini akan menjadi metode yang khas dari kaum komunis untuk memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru kepada masyarakat dan memobilisasi dukungan rakyat terhadap program pemerintah dan tokoh-tokoh pemimpin tertentu. Di samping itu dipersiapkan juga landasan untuk tahap selanjutnya dari perluasan industri dan kolektivisasi pertanian.
Dalam repelita I (1953-1957) China dengan giat bergerak maju menuju industrialisasi dan kolektivisasi. Yang menjadi model dalam usaha ini adalah Uni Soviet. Bangsa China mengambil berbagai praktek yang sudah diterapkan dalam pengalaman Soviet, seperti perencanaan ekonomi yang sangat tersentralisir dengan pengendalian yang ketat terhadap semua tahap perkembangan produksi, distribusi, dan konsumsi; lebih mengutamakan perkembangan industri.
Hasil-hasil yang dipeeroleh dalam Repelita I cukup mengesankan. China telah maju ke dalam industrialisasi dan telah mencapai tingkat pertumbuhan penduduk yang berarti. Tetapi langkah dan arah pembangunan yang dipaksakan itu juga menyebabkan masalah serius. Masalah-masalah yang menonjol itu misalnya, macetnya produksi pertanian, meningkatnya urbanisasi, pengangguran, dan defisit neraca pembayaran dalam perdagangan internasional. Selain itu kesuliatan-kesulitan lain yang lebih parah, yaitu implikasi-implikasi sosial dan ideologis dari penerapan model pembangunan soviet; ketimpangan, ketergantungan terhadap bantuan negara lain. Dalam suatu keputusannya yang penting Mao secara tegas meninggalkan pembangunan model soviet dan menempuh jalur baru yang sangat jauh berbeda dari model sebelumnya. Jalur baru tersebut disebut Lompatan Jauh Ke Depan.
Lompatan jauh ke depan (1958-1960) merupakan kebalikan dari kebijakan-kebijakan sebelumnya dan mencakup pengenalan serangkaian pembaharuan dalam industri, pertanian, dan pemerintahan, yang dimakdudkan untuk memecahkan masalah yang timbul dalam Repeliata I dan sekaligus menempatkan China dalam jalur Maoisme. Lompatan jauh itu merupakan bagian dari lingkaran pergantian kecenderungan kebijakan Mao yang mencirikan seluruh masa pemerintahan Mao. Lingkaran pergantian kebijakan itu dapat kita  lihat, misalnya, dalam pergantian antara radikalisasi dan sikap moderat, semangat ideologi dan keluwesan dalam praktek, mobilisasi massa dan birokratisasi yang bersifat elitis, “politik sebagai pangliam” dan “ekonomi sebagai panglima”, serta Merah dan ahli. Dalam program Lompatan Jauh Ke Depan itu Mao memprakarsai banyak kebijakan yang belum teruji dan ternyata tidak dapat dijadikan sebagai basis pertumbuhan ekonomi yang mantap. Dengan kegagalannya itu Mao membuka pintu bagi kemerosotan popularitasnya dalam bidang politik pada waktu itu. Dalam beberapa tahun pelaksanaan inovasi yang sangat jauh implikasinya dan menciptakan kebingungan, Mao membebankan penderitaan yang berat bagi rakyat China, meskipun beberapa kebijakan patut mendapat perhatian. Salah satu kebijakan yang patut disebut ialah adanya kommune-kommune. Kommune dianggap sebagai organisasi social yang tinggi tingkatannya karena di dalamnya perilaku perorangan yang mengutamakan kepentingan diri sendiri diubah menjadi perilaku yang mengutamakan kepentingan umum, secara social menguntungkan, dan kegiatan-kegiatannya terencana.
Tahun 1961-1965 merupakan masa penyesuaian kembali, dimana pembaharuan-pembaharuan yang gagal dari program Loncatan Jauh Ke Depan ditinggalkan dan China bergerak menuju ke arah pemulihan. Pendulum berpindah ke hal-hal yang praktis. Pemilikan tanah secara perorangan diijinkan kembali; sistem kommune dihapus; insentif-insentif kebendaan diperkenalkan kembali; keahlian teknis diberi imbalan; inovasi teknologi lebih dipentingkan daripada mobilisasi massa, dan sebainya. Kebijakan-kebijakan Mao dan pribadi Mao sendiri akhirnya member jalan pada pendekatan para ahli yang lebih konvensional
Berbagai langkah penyesuaian itu membawa hasil. Meskipun masih terdapat masalah ynag berkepanjangan, seperti pertumbuhan penduduk yang tinggi, perekonomian China bisa pulih kembali. Tambahan pula, pemulihan itu dicapai tanpa bantuan Soviet. China telah mewujudkan kemandiriannya. Kendati demikian, sepak terjang Mao harus diperhitungkan. Ternyata di balik layar, Mao sedang mempersiapkan usaha-usaha yang sangat radikal untuk membawa perubahan cepat dalam masyarakat China, melalui Revolusi Besar Kebudayaan Proletar.
F.    Revolusi Kebudayaan
Meskipun bagi dunia luar Revolusi Kebudayaan (1966-1969) pecah seperti ledakan bom, namun di China sendiri revolusi itu merupakan hasil dari pertarungan politik yang telah berlangsung selama beberapa tahun. Ketika kampanye revolusi itu dimulai, seluruh masyarakat China merasa terkejut. Kalau program Lompatan Jauh Ke Depan memberikan pengaruhnya yang utama pada bidang ekonomi, Revolusi Kebudayaan bertujuan untuk merubah semua bidang kehidupan masyarakat yang penting seperti partai, Angkatan Bersenjata, pemerintahan, pabrik-pabrik, sekolah-sekolah, kebudayaan, kesenian, keluarga, dan peranan Mao sendiri.
Inti Revolusi Kebudayaan ialah mempolitisir semua kegiatan masyarakat sehingga tidak ada satu ruangan pun yang kebal terhadap pencegatan dan campur tangan  penguasa atas nama kesadaran Revolusi Rakyat. Kesadaran ini mula-mula diwujudkan dalam bentuk kumpulan pemuda belasan yang digunakan Mao sebagai agen-agen perubahan sosial. Para pemuda ini diangkut oleh tentara dari satu tempat ke tempat lain, berkumpul di kota-kota untuk memberi penjelasan kepada para guru dikelasnya, birokrat di kantor, manajer di pabrik, sehingga mereka tergerak untuk menganut prinsip egalitarisme revolusi. Mao memperoleh lebih dari apa yang diperjuangkannya. Para pemuda yang diorganisir dalam brigade-brigade Pengawal Merah mengambil alih badan-badan pemerintahan, menteror penduduk kota dan kedutaan asing, dan bahkan muali bertarung diantara mereka sendiri. Dan semua menjadi kacau para pemuda tadi enggan mengembalikan wewenang yang baru diperoleh darinya. Mao mengerahkan lagi para tentara untuk membekukan Pengawal Merah dan membubarkan semua anggotanya di seluruh negeri.
Sasaran utama Revolusi Kebudayaan ialah lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi sosialisasi dalam masyarakat yang secara langsung membentuk nilai dan keyakinan manusia. Di samping kerugian yang diderita oleh masyarakat secara keseluruhan, diperkirakan bahwa selama Revolusi Kebudayaan berlangsung, China menderita kehilangan satu juta dokter, insinyur, guru, dan tenaga-tenaga profesi lainnya. Semestinya mereka dapat meniti karir yang menjajikan kecerahan, tetapi mereka malah menjadi korban dari devosi atau penyembahan Mao terhadap egalitarianism revolusioner.
Walaupun berbagai perubahan dirasakan sangat dramatis dalam bidang pendidikan dan kesenian, namun pengaruh secara poltik paling menonjol terjadi dalam tubuh partai itu sendiri. Mao melancarkan aksi pembersihan secara besar-besaran dalam tubuh partai yang hampir saja meruntuhkan seluruh struktur yang telah dibangunnya sendiri selama lebih dari tiga puluh tahun. Revolusi Kebudayaan merupakan usaha besar Mao yang terakhir untuk merubah masyarakat China menurut pandangannya yang bersifat egaliter dan komunal. Meskipun kemudian banyak praktek yang ekstrim Revolusi kebudayaan dimodifikasi, dan banyak individu yang menjadi korban dikembalikan pada jabatannya yang semula, namun akibat-akibat revolusi itu dirasakan bertahun-tahun. Sampai Mao meninggal dunia, China masih berada dibawah bayangan Revolusi Kebudayaan.

*Tulisan diatas merupakan ringkasan/ resume dari buku Isme-isme Dewasa Ini karangan William Ebenstein (hal 83-100).

1 komentar: