Sejarah
Feminisme
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan
perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme sebagai filsafat dan
gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di
Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas
sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah
ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan,
berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan
tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah
untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah
kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh
aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada
tahun 1837. Pergerakan
yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak
publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women)
pada tahun (1869). Perjuangan
mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri
masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum
perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh
kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan
politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam
masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung
ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam
rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di
Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di
abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke
seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang
melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di
lingkungan agama Kristen terjadi
praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya
gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua"
hanya dapat dijabat oleh pria. Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan
derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi
sosial dan politik.Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat
karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication
of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang
digunakan dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan
praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya
perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam
pendidikan, serta hak pilih. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan
yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di
Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang
mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru,
menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah
politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara
parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang
kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang
kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang
banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun
tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia
ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Perkembangan di Amerika Serikat
Gelombang
feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan
dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis
oleh Betty Friedan di
tahun 1963. Buku ini
ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi
wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di
tahun 1966 gemanya
kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan
Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa
menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan
laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai
hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan
bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang
akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklahStudent for a
Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian
dilanjutkan di Chicago pada
tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme
radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang
lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati
bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam
masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang
dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka
memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang
mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi
tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat
sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
Pada 1975, "Gender, development, dan
equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama
di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis
sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan
bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda
dunia.
Memasuki
era 1990-an, kritik
feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah
satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran
perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik
patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum
feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah
termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam
wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi
kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan
representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan
relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat
maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan
destruktif.
Berangkat
dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan
suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai
perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut
sebagai sains feminis (feminist science).
Aliran-aliran
Feminisme
ü Feminisme
liberal
Feminisme
liberal muncul sebagai reaksi terhadap teori pembangunan liberal. Misalnya saja
kaum liberal menganalisis mengapa posisi kaum perempuan tertinggal dalam proses
pembangunan, disebabkan oleh faktor kaum perempuan sendiri yang tidak sanggup
untuk bersaing dan itu kemudian dicari penyebabnya pada sifat tradisional yang
ada pada diri mereka. Bagi kaum liberal, sesungguhnya pembangunan dan
modenisasi, teknologi, maupun sistem ekonomi memberi peluang yang luas bagi
semuannya, tetapi hanya yang modern, kreatif, rasional dan efisienlah yang akan
mampu memanfaatkan kesempatan itu. Aliran ini berpendapat bahwa perbedaan
antara kaum perempuan dan kaum lelaki yang akan diserap dalam proses ini
dianggap sebagai suatu kesalahan dalam difusi, bukan dianggap kesalahan model
teori itu sendiri.
Asumsi
dasar feminisme liberal berakar dari pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan
kesamaan berakar pada rasionalitas dan emisahan antara dunia privat dan publik.
Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat
tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu,
termasuk didalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan, karena perempuan juga
makhluk rasional. Yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah
pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan
individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia
(demikian menurut mereka) punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan
pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam
kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis
Liberal memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.
Tokoh
aliran ini adalah Naomi Wolf,
sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan
telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan
harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas
berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat.
Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari
materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita
tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada
pria.
Akar
teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus
diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.
ü Feminisme
radikal
Salah
satu feminis radikal yang pertama, Kate Millett (1934 – 1977) berpendapat bahwa
patriaki dibawa oleh kontrol gagasan dan kebudayaan oleh laki-laki. Dalam
tulisan feminis radikal yang lain, tiga macam universal dikemukakan : pengasuhan
ibu biologis, keluarga berbasis perkawinan dan heteroseksual. Selanjutnya,
dalam teori radikal awal, sebgai contoh Shulamith Firestone (1945-)
argumentasinya adalah bahwa patriarki didasarkan pada faktor biologi bahwa
hanya perempuan yang mengandung dan melahirkan. Pendekatan ini mengklaim bahwa
hanya secara teknologi telah dimungkinkan pembuahan hingga mengandung diluar
rahim barulah perempuan memperoleh kebebasan. Kalau keadaaan ini telah tercapai
maka perbedaan gender menjadi tidak relevan dan secara biologis perempuan
terperangkap dalam peranan ibu dalam keluarga dengan sendirinya akan hilang (
Firestone 1971).
Trend
ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran
ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar
jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual
dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan
adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini
adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.
Aliran
ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
"The personal is political" menjadi gagasan baru yang mampu
menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap
paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).
Feminisme
radikal berusaha menjelaskan bahwa penindasan terhadap perempuan itu universal,
dan untuk mendukung penjelasan itu mereka mengusung konsep patriarki. Patriarki berarti kekuasaan laki-laki atas perempuan;
bagi feminis radikal, bukan sistem ekonomi yang menindas perempuan, melainkan
laki-laki yang menindas perempuan.
ü Feminisme
post modern
Ide Posmo -
menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas,
gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial
karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah.
Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
ü Feminisme
anarkis
Feminisme Anarkisme lebih
bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis
dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber
permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
ü Feminisme
Marxis
Pendirian
dasar penganut marxisme adalah bahwa women
question harus diletakkan sebagai bagian dari kritik terhadap kapitalisme,
terutama pada sistem mode produksi. Aliran ini memandang masalah perempuan
dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya
konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran
(exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi
menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan
mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika
kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan
terhadap perempuan dihapus.
Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap
bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki
kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat
kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Dalam
hubungan ekonomi dan karakteristik gagasan dari mode kapitalisme produksi yang
kita seharusnya mencari struktur ketidaksetaraan yang secara tidak adil
menghambat kehidupan perempuan, kebalikan darikehidupan laki-laki yang serba
menikmati keuntungan dan kelebihan. Solusi bagi masalah penindasan terhadap
kaum perempuan itu terletak pada penghancuran kapitalisme. Ada 2 macam
pendekatan feminsme Marxis yang satu lebih ekonomistik dari pada yang lain.
Versi femins-Marxis menekankan pada posisi ekonomi perempuan dalam masyarakat
kapitalisme menegaskan bahwa subordinasi paling baik dijelaskan dengan memahami
ketidak beruntungan ekonomi yang mereka alami sebagai akibat dari kondisi
kapitalisme. Argumen tersebut dikemukaan oleh sebagian ahli yang terlibat dalam
perdebatan tentang persepekif ini.
ü Feminisme
sosialis
Feminisme
sosialis dianggap sebagai kelompok feminis yang mengembangkan pemikiran teori
feminisme yang paling dinamis ditahun 1970-an. Bagi feminis sosialis, ada
konflik terselubung dan terus menerus antara “kebutuhan dasar feminis” disatu
pihak dan “kebutuhan untuk menjaga integritas materialisme dari Marxisme”
dipihak lain, sehingga analisis made of productions. Feminisme sosialis sangat
skeptis terhadap asumsi golongan Marxis umumnya.
Sebuah
faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak
Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti
ide Marx yang
menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme
sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah
jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik
dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang Bagi feminis
sosialis, ketidak adilan terhadap kaum perempuan muncul bukan karena perbedaan
biologis antara lelaki dan kaum perempuan, tetapi lebih karena penilaian dan
anggapan terhadap perbedaan itu, suatu analisis yang menjadi dasar analisis
gender. Dengan begitu, pemikiran feminisme sosialis mengombinasikan teori
marxis, dengan fakta universal subordinasi perempuan, sebagai landasan untuk
studi perbandingan dan praxis baru.
Bagi mereka, penyebab penindasan kaum perempuan bukan melulu karena kegiatan
produksi atau reproduksi, melainkan juga konstruksi sosial dari kedua kegiatan
tersebut. Revolusi sosial bagi mereka sekadar menjadi prakondisi bagi revolusi
feminis.
Persepektif
yang ada seringkali adalah konflik antara memilih satu dari yang lain dalam
rangka membuat keputusan penting tentang
bagaimana menstrukturkan kebijakan pada saat ini, seperti : apakah perlu
memiliki proyek pembangunan “khusus kaum perempuan” ataukah harus “integratif”
atau apakah harus yang menerima bantuan asing itu lelaki ataukaah perempuan,
ataukah anak sebagai individu. Dalam rangka memahami perbedaan ini, yang
diperlukan adalah studi mikro tentang akibat pembangunan pada lelaki dan kaum
perempuan.
ü Feminisme
postkolonial
menganggap
patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan
yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat
keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara
karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran
sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk
memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam
konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem
kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
Dasar
pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni)
berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan
agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada
intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara
pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya
Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and
Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis
kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial,
dan pendidikan.”
ü Feminisme
Nordic
Kaum
Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan
Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme
bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini
menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan
atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh
kebijakan sosial negara.
TOKOH DALAM FEMINISME
1. Foucault
Meskipun ia
adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas
tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia
menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok
tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain,
menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi
perkembangan feminism.
2. Naffine
(1997:69)
Kita dipaksa
“meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam
relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng
“iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan
tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.
3. Derrida
(Derridean)
Mempertajam
fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir
kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu
berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog
sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk
megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap
dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam
bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak
dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.
Daftar pustaka
· Bhasin,Kamla
dan Said Khan, Nighat. Persoalan Pokok
Mengenai Feminisme dan Relevansinya, Jakarta: Gramedia, 1999.
· Fakih,
Mansour. Analisis Gender dan Transformasi
Sosial, Yogyakarta : INSISTPress, 2008.
· Jones, PIP. Pengantar Teori-Teori Sosial, Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar