Rabu, 02 Mei 2012

Fasisme

A. Latar Belakang Fasisme
Fasisme adalah sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali berkembang di Italia dan kemudian berkembang di berbagai negara di Eropa, sebagai reaksi atas perubahan sosial politik akibat Perang Dunia I. Istilah fasisme menimbulkan gambaran kekerasan, kebrutalan dan kekejaaman mengerikan yang tak terlukiskan. Nama fasisme berasal dari kata Latin fasce, artinya kumpulan tangkai yang diikatkan kepada sebuah kapak, yang melambangkan pemerintahan di Romawi kuno. Istilah fasisme pertama kali digunakan di Italia oleh pemerintahan yang berkuasa tahun 1922-1924 pimpinan Benito Mussolini. Gambar tangkai-tangkai yang diikatkan pada kapak menjadi lambang partai fasis pertama. Setelah Italia, pemerintahan fasis kemudian berkuasa di Jerman dari 1933 hingga 1945, dan di Spanyol dari 1939 hingga 1975. Di Asia, jepang menjadi fasis melalui perubahan secara perlahan ke arah lembaga-lembaga yang totaliter setelah menyimpang dari budaya aslinya, pada tahun 1930-an. Di belahan bumi barat, pemerintah semi-konstitusional yang dipimpin oleh para tuan tanah dihancurkan di argentina tahun 1943, setelah terjadi pemberontakan para tentara yang merasa tidak puas, kemudian dibentuk suatu kediktatoran fasis dibawah pimpinan kolonel peron yang berlangsung sampai tahun 1955 saat kolonel peron tumbang.
Fasisme dapat dianggap sebagai pemberontakan kedua setelah komunisme terhadap cara hidup barat yang liberal. Fasisme merupakan pengaturan pemerintah dan masyarakat secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Kondisi penting dalam pertumbuhan negara fasis adalah perkembangan industrialisasi, karena Fasisme merupakan bentuk sistem totaliter yang secara khas tumbuh dan berkembang di negara-negara relatif lebih kaya dan secara teknologi lebih maju, contoh: jerman dan jepang. Fasisme mendapat dukungan pembiayaan dari industriawan dan tuan tanah, karena kedua kelompok ini mengharapkan lenyapnya gerakan serikat buruh bebas, yang dianggapnya menghambat kemajuan proses produksi dalam industri. Sumber dukungan lain bagi rezim fasis adalah kelas menengah, terutama pegawai negeri. Mereka melihat fasisme adalah sebuah sarana untuk mempertahankan prestise yang ada sekaligus perlindungan politik. Fasisme juga memerlukan dukungan dari kaum militer, sebagaimana fasisme Jerman, Italia dan Jepang, sebagai jalan menuju militerisasi rakyat.

B.    Akar-Akar Psikologi Sistem Totaliter
Pemahaman mengenai kecenderungan-kecenderungan fasis terletak pada berbagai kekuatandan tradisi masyarakat luas. Di negara-negara fasis tradisi otoriter telah mendominasi dan filsafat demokrasi yang rapuh. Olehkarena itu warga negara tidak akan menolak adanya kecenderungan-kecenderungan fasis dan kemungkinan menganggap sesuai dengan masyarakatnya, banyak hal dalam adat dan kebiasaan hidup orang jerman dan jepang yang menunjukan kecenderungan ke arah cara hidup otoriter.
Analisis tradisional mengenai kediktatoran politik telah dipusatkan pada motivasi-motivasi yang mendorong para pemimpin yang bersifat diktator, seperti nafsu yang membara untuk meraih kekuasaan dan hasrat yang sadis untuk mendominasi. Adanya gerakan masa yang otoriter seperti fasisme justru ditentukan oleh hasrat banyak orang untuk memasrahkan diri dengan setia untuk patuh dan menerima. Sistem totaliter, entah fasis maupun komunis, menarik orang-orang dengan bentuk orang tua dan anak yang mencari rasa aman dengan ketergantungan. Fasisme ibarat memanfaatkan kondisi psikologis kepatuhan sang anak kepada orang-tuanya. Dengan kepatuhan, maka sang anak akan terlindungi karena memiliki tempat bergantung. Fasisme juga memiliki ciri untuk menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya. Untuk mempertahankan kesatuan, fasisme juga menciptakan musuh-musuh yang nyata maupun imajiner. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman. Jika merasa kekuatannya telah cukup untuk tidak sekedar berteori, maka kaum Fasis mulai menunjukkan sifat imperialisnya. Mereka akan menjanjikan kemenangan dalam permusuhan dengan bangsa lain. Kaum fasis senantiasa ingin menunjukkan bahwa mereka lebih unggul dari bangsa atau negara manapun. Apabila fasisme kalah, maka sang pemimpin fasis akan menjadi korban kehancuran rezimnya sendiri. seperti yang dialami Mussolini yang ditembak dan digantung oleh rakyatnya sendiri.
Sifat-sifat yang menandakan orang berkepribadian otoriter yang berbentuk fasis, kecenderungan untuk mematuhi dengan paksa cita-cita dan pratek-pratek yang kolot, kekakuan perasaan, kesetiaan yang teguh pada golongan sendiri, disertai adanya kebencian yang sangat pada golongan luar, lebih menekankan soal disiplin dan kepatuahan daripada kebebasan dan spontanitas dalam hubungan kemanusiaan. sikap ketergantunagan dan kepatuhan dalam masyarakat totaliter fasis memberikan jaminan rasa aman yang dibutuhkannya, namun jaminan rasa aman atau jaminan yang diinginkanya tidak memberikan kesempatan untuk mengatualisasikan dirinya sendiri. Oleh karena tidak diberi kesempatan untuk penyaluran aktualisasi diri, maka muncul lah sikap-sikap kejiwaan menjadi sikap permusuhan dan agresi yang tertekan.
C.    Metode-Metode yang Digunakan Fasisme untuk Berkuasa

Fasisme mencapai kesuksesan pertama kalinya di Italia. Mussolini mengambil keuntungan dari tekanan-tekanan sosial dan kerinduan di kalangan rakyat Italia akan perubahan. Setelah perang, Mussolini memobilisasi para mantan tentara, pengangguran dan mahasiswa, dengan slogan-slogan yang meneriakkan kembalinya masa-masa kejayaan Romawi kuno. Mussolini mengorganisir para pendukungnya, yang dikenal sebagai Kemeja Hitam dalam sebuah format semi-militer, dan memiliki metode-metode yang dibangun dengan kekerasan. Mereka mulai melakukan penyerangan-penyerangan di jalan-jalan terhadap kelompok-kelompok yang mereka anggap sebagai saingan mereka. Dengan berbagai unjuk salam, lagu, seragam, dan pawai resmi yang bergaya Romawi, mereka membangkitkan emosi kaum tak terpelajar dan tak punya hak suara.
Pada tanggal 29 Oktober 1922, 50.000 militan fasis di bawah komando enam jendral berbaris memasuki Roma. Karena sang raja sadar apa yang dapat dilakukan oleh kekuatan yang menentangnya ini, dan bahwa tidak ada yang dapat ia lakukan untuk melawan mereka, ia mengajak Mussolini untuk membentuk sebuah pemerintahan. Sebagai hasil perkembangan selanjutnya, kaum fasis Italia akhirnya berkuasa.
Hitler memperoleh kekuasaan dengan cara yang sama. Gerakan Nazi lahir pada awal tahun 1920-an, dan melakukan tindakan kekerasan pertamanya pada ‘putsch’ di Aula Bir Munich. Hitler memasuki pertemuan dalam kemarahan yang meluap-luap dan mengambil alih tempat itu. Kaum Nazi tumbuh makin kuat dengan meneror lawan-lawannya dan menghasut kebencian. Pada akhirnya, Partai Nazi menjadi sebuah partai penting di parlemen. Selama hal ini berlangsung, tentu saja, kaum Nazi seringkali melakukan cara-cara ilegal, sebagaimana partai Fasis Italia. Pada tanggal 30 Januari 1933, Hitler diangkat menjadi kanselir. Jabatan itu diberikan kepadanya oleh Presiden Hindenburg yang sudah tua, yang menyadari bahwa pertumbuhan kekuatan Gerakan Sosialis nasional semakin mengancam, dan karenanya, Hitler dijadikan kanselir untuk mencegah perang sipil. Ketika Hitler kembali mencalonkan diri dalam pemilihan umum pada bulan Maret, sebagaimana semua pemerintahan fasis, kaum Nazi melakukan teror, intimidasi, dan kecurangan. Setelah pemilihan umum, parlemen Jerman segera meloloskan Undang-Undang Pembolehan, yang membuat Hitler menjadi diktator Jerman selama empat tahun.
Dengan demikian, kekuasaan pemerintahan dan penegakan hukum berada di tangan Hitler. Namun, tak lama kemudian, kekuasaannya meningkat lebih jauh lagi. Pada bulan Agustus 1934, saat wafatnya Hindenburg, jabatan presiden dan kanselir disatukan, dengan Hitler sebagai pemegang keduanya. Hitler memberlakukan kebijakan-kebijakan seperti yang dilakukan Mussolini. Selain pemaksaan yang tak berperikemanusiaan, Hitler juga menggunakan berbagai metode yang tidak demokratis. Misalnya, ia melarang semua partai oposisi, dan melarang semua perserikatan dagang, sehingga menghapuskan sepenuhnya kebebasan individu. Pengaruh Nazi dapat dirasakan dalam seluruh bidang kehidupan. Bahkan profesor-profesor universitas pun diharuskan bersumpah untuk loyal kepada Hitler.
Di Spanyol, Franco meraih kekuasaan setelah sebuah perang sipil berdarah. Dengan didukung oleh Hitler dan Mussolini, pasukan bersenjata Franco mengalahkan kaum komunis setelah perang yang dahsyat dan lama, lalu mengambil alih kekuasaan di seluruh negeri. Franco kemudian membangun sebuah rezim yang menindas, dan memerintah negara itu dengan “tangan besi” hingga tahun 1975.
Jadi metode-metode yang digunakan fasisme untuk berkuasa sebagian besar berupa pemaksaan dan kekerasan, dengan memanfaatkan kaum yang lemah.


D.    Teori Dan Praktek Fasisme
a)    Doktrin Dan Kebijaksanaan
Fasisme tidak memiliki pernyataan yang mengikat tentang landasan prinsip-prinsip baku dari fasisme, apalagi sudah tidak ada lagi negara yang mendalagi persekutuan fasis sedunia. Selama rezim nazi(1933-1945) jerman menjadi negara fasis yang paling kuat, dan fasisme dunia sebagian besar dibiayai dan dibina oleh uang dan otak bangsa jerman. Sejak kekalahan negara poros fasis(Jerman, Jepang, dan Italia) dalam perang dunia II, tidak pernah ada lagi negara fasis yang berpengaruh. Ketiadaan pernyataan tentang prinsip-prinsip fasis yang mengikat dan diakui secara universal bukanlah berarti tidak ada pedoman sama sekali. Hitler mewariskan pedoman yang dapat dipercaya menuju ke alam pemikirannya. Sedangkan Mussolini, dalam bukunya Doctrine of Fascism meningalkan sebuah pernyataan yang moderat mengenai prinsip-prinsip fasis yang menggambarkan fasisme model Italia. Fasisme model Italia lah yang menjadi model bagi gerakan fasis di seluruh dunia.
Unsur-unsur pokok dalam pandangan fasis:
1.    Ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
2.    Pengingkaran derajat kemanusiaan.  Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
3.    Kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan.  Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
4.    Pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat.  Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
5.    Totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya fasisme bersifat total dalam mengasingkan sesuatu yang dianggap kaum pinggiran. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
6.    Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
7.    Menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.

b)    Ekonomi Fasis: Negara Korporasi
Negara korporasi menerapakan prinsip-prinsip fasis dalam menata dan mengawasi perekonomian. Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara korporasi. Pertama,masyarakat biasa tidak boleh memikirkan hal-hal yang bersifat politik. Mereka hanya berhak menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Kedua, para elitlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk memahami masalah seluruh anggota masyarakat karena itu hanya mereka yang berhak memerintah.
Dalam aspek politik, fasisme mewujudkan negara yang menganut sistem partai tunggal, dan dari aspek ekonomi dan sosial fasisme menerapakan korporatisme. Dalam bidang politik fasisme mengganti konsep pokok tentang kebebasan individu dengan kekuasaan negara yang tidak terbatas, maka dalam bidang ekonomi fasisme menolak perekonmian kemakmuran bebas, entah itu kapitalis atau pun sosialis. Tujuan negara korporasi adalah menjamin kekuasaan negara bukan kesejahteraan individu. Tujuan akhir organisasi perekonomian korporatis adalah persiapan menuju perekonomian perang permanen, karena imperialisme yang agresif merupakan tujuan akhir politik luar negri fasis.
Rezim fasis Italia membentuk negara korporatis untuk menunjukan kepada rakyat Italia dan dunia bahwa fasisme merupakan prinsip baru yang kreatif dalam organisasi sosial dan politik, bukan sekedar reaksi terhadap kapiltalisme dan sosialisme liberal. Namun pada akhirnya negara korporasi fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia mulai dikalahkan oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II, sehingga  Mussolini harus merasakan hukuman mati dari rakyatnya sendiri. 
DAFTAR PUSTAKA

    Ebenstein, William dan Edwin Fogelman. Isme-Isme Dewasa Ini. penerjemah: Alex Jemadu.  Jakarta: Erlangga. 1990.
    Sargetn, Lyman Tower. Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer.penerjemah: A.R. Henry Sitanggang,S.H. Jakarta:Erlangga.1987.
    http://newhistorian.wordpress.com
    http://www.harunyahya.com/indo/buku/fasisme8.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar